Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia hingga jelang akhir tahun 2021 ini lebih dari 26 juta orang. Jumlah kaum dhuafa itu pun terus bertambah signifikan setelah pandemi melanda dunia termasuk Indonesia.
Buntut kemiskinan membuat banyak orang harus nekat tinggal di bantaran sungai hingga bawah kolong jembatan. Salah satunya ibu Sutini yang sudah lebih 10 tahun menetap di bawah kolong jembatan di daerah Pluit, tepatnya di Jalan Kertajaya, Jakarta Utara. Wanita paruh baya ini mengaku berasal dari Jawa tengah.
Selain Sutini yang terlihat semakin menua dan telah ditinggal meninggal suaminya, masih ada ratusan warga lain dari berbagai daerah yang tinggal di sana. Lebih dari 200-an warga menurut sesepuh di sana bergabung tuk tinggal setelah pandemi Covid C-19 melanda Indonesia. Pada mulanya profesi mereka cukup beragam, mulai dari pemulung, supir bajaj hingga pedagang kaki lima. Namun akibat pandemi, usaha mereka anjlok hingga rumah mereka pun ikut tersingkir.
Sedih pastinya, karena mereka harus membawa apa saja yang bisa dibawa pindah ke kolong jembatan Pluit yang secara tidak resmi telah menjadi satu koloni kehidupan walau tidak sehat apalagi memenuhi unsur humanis. Mereka harus berbaur dengan warga yang lebih dulu menetap. Suka tidak suka itulah kehidupan yang harus di jalani bersama keluarga lengkap istri juga anak anak.
Sekalipun hidup di bawah kolong jembatan tapi kebutuhan untuk masak mandi hingga shalat membuat beberapa warga sepakat membuat sumur. Dan siapa sangka air di dalam sumur cukup jernih bak air PAM. Sumur yang infonya telah berusia lebih 13t ini sangat membantu warga menjalani hari hari mereka. Tetapi jika ingin BAB warga harus pergi ke WC umum yang berada di sisi kiri kolong jembatan dengan membayar seribu atau dua ribu rupiah.
Sedangkan untuk sholat Jumat kaum pria harus pergi ke masjid di sekitar permukiman warga di sisi kolong jembatan. Tetapi untuk hari hari mereka bisa pergunakan mushala kecil bernama Nurul Hidayah yang dibangun secara swadaya oleh para penghuni.
Musholla nan sederhana tampak lebih bagus dari rumah warga yang hanya terbuat dari tripleks seadanya. Lebih tepatnya disebut bedeng. Musholla Nurul Hidayah belakangan dijadikan madrasah kecil buat anak anak warga kolong. Ada seorang tukang air yang rutin mengajari mereka mengaji.
Dan Setelah lebih 10 tahun tinggal di bawah kolong di Jakarta Utara itu. Sutini dan ratusan warga pertama kali menikmati perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di awal November ini.
Acara Maulid bareng dengan Baksos serta pengobatan gratis digelar atas inisiasi Nina, salah seorang wartawan Ibu Kota bersama sekelompok ibu-ibu dari grup bernama Berhijab & Tawadhu.
Dengan berpakaian rapi dan berhijab para ibu juga bapak serta anak anak yang berbaju koko tampak sejak pagi telah menanti kehadiran ustad juga para donatur serta Rumah Yatim yang ikut membagikan beras dan mie kepada mereka.
Ustad Yahya Alim dari rumah Yatim langsung memimpin doa dan shalawatan serta tak lupa ceramah dengan pantun yang membuat warga tampak bahagia. Mereka tampak antusias ikut membaca doa dan shalawatan.
Beberapa ibu tampak menangis terharu. Karena walau hidup di bawah kolong jembatan mereka akhirnya bisa merasakan acara keagamaan seperti di perumahan biasa. Mereka berharap grup Berhijab dan Tawadhu mau rutin membuat pengajian agar mereka walau sudah tua bisa mengaji dan sholat yang benar.
Usai acara Mauludan dilanjut pembagian baksos berupa paket sembako kepada 150 warga sesuai nama yang sudah dicatat oleh Nur warga setempat. Warga yang merasa kondisi tubuhnya kurang ok atau sakit langsung menuju ruang musholla.
Di ruangan yang berukuran 3x3 itu tim kesehatan yang dipimpin dokter Yovie tlah siap dengan para perawat. Seorang ibu yang sangat gemuk dan tampak kelelahan saat mengikuti Maulid Nabi menjadi pasien pertama. Juga seorang warga yang sempat histeris saat acara berlangsung.
Begitu juga seorang perempuan muda kurus, nampak kepayahan saat duduk mengikuti acara ternyata kehamilannya telah berusia sembilan bulan. Seorang remaja yang tampak masih muda tapi telah memiliki bayi ikut masuk ke ruang pengobatan itu. Sejak kelahiran bayinya yang prematur dia menolak menyusui anaknya. Rupanya secara psikis dia belum siap.
Dengan telaten dokter Yovie dan perawat mengajari dia cara menyusui juga menasehati dari segi keibuannya. Ada lebih 40an warga yang berobat gratis. Termasuk seorang anak laki laki yang kakinya tlah abses bernanah.
Antusias warga menyambut Baksos dan pengobatan gratis sangatlah tinggi karena mereka merasa selama ini belum pernah ada yang membuat acara kesehatan gratis di sana. Acara baksos ditutup dengan pembagian pakaian yang layak pakai.
Evi yang sejak awal antusias mencari pakaian layak pakai dibantu Netty bertugas membagikan Sarung, mukena, sejadah, tas hingga pakaian bayi membuat semua bahagia. Ada yang minta lebih untuk dibawa ke kampungnya.
Hidup di bawah kolong jembatan bukan pilihan dan tinggal kepekaan warga lainnya tuk ikut memperhatikan mereka. Rasa kemanusiaan tidak perlu sekat dan tanpa melibatkan politik ini itu.
MashaAllah Mbak Nina. Luar biasa atas usahanya mengadakan acara seperti ini. Salut banget.
ReplyDeleteBaca artikel ini hati saya langsung teriris. Banyak juga ya Mbak yang tinggal di kolong jembatan itu. Dengan fasilitas sanitasi seadanya dan perputaran udara yang tentunya (sangat) terbatas. Jadi sepertinya mereka sangat membutuhkan bantuan pengecekan kesehatan dan kebutuhan-kebutuhan dasar untuk menjalani hidup.